Senin, 23 Maret 2015

Pantai Koka, Nusa Tenggara Timur


Memperhatikan rumah-rumah di sepanjang jalan dari Maumere ke Paga akhirnya mengundang kesan bahwa masyarakat Flores, khususnya Sikka, seperti mengoleksi bongkahan batu yang disusun rapih menjadi taman batu di halaman rumah mereka. Inikah makna keaslian yang sengaja dinampakkan kepada orang yang jauh terbang menyinggahi pulau tua ini? Bila memang setua itu, seperti apakah rupa pantainya? Meliuk-liuk sepanjang 42 kilometer dari Kota Maumere menuju arah barat di jalur Lintas Flores Selatan, sebuah kecamatan bernama Paga memberikan sedikit jeda dengan jalannya yang lurus dan lebih banyak ditanami pohon kelapa, jambu mete, ketapang, dan pohon lainnya yang hijau ketimbang susunan bebatuan namun kenyataannya Paga masih terus memesona tamunya dengan sebuah pantai yang terkenal dari kabar burung yang dikabarkan para petualang dan wisatawan. 


Pantai Koka di Desa Wolowiro disebut-sebut sebagai tempat dimana alam memanjakan mata dan batin manusia. Bila menggambarkan sebuah tempat nan indah yang masih perawan namun sempat disinggahi tamu Eropa khususnya dari Belanda di tahun 90-an maka Pantai Koka adalah ilustrasi terbaik. Perkebunan teh yang dibina pengusaha Belanda zaman dulu selalu memiliki pesona yang abadi dan pantainya memiliki pesona yang sama dengan warna alami yang bisa menenangkan jiwa ialah Pantai Koka. Tak banyak orang mengenal apalagi mengunjungi pantai berpasir halus dan putih keemasan ini. Keindahannya seolah tersembunyi dari keramaian dunia. 


Beberapa nelayan biasanya berteduh di bawah pohon di antara dua pantai yang melengkung seperti tersenyum satu sama lain. Dua pantai ini sama indahnya dan sama keasliannya. Bisa dibayangkan nikmatnya ikan bakar segar dari laut disantap di bawah rindangnya pohon yang menjadi payung kebersamaan. Beberapa wanita dari kampung setempat nampak berjalan membawa berbagai barang di atas kepalanya seolah menampilkan atraksi akrobat gratis. Dalam bahasa daerah Sikka mereka bersapaan dan mereka pun berkemampuan memberikan senyuman paling ramah pada pengunjung pantai yang juga mencoba melempar senyum sapa. Semua ini akan ditemukan selama perjalanan kaki dari tepi jalan raya beraspal halus hingga ke bibir pantai yang jaraknya kira-kira 2 kilometer dan ditempuh selama 30 menit atau sedikit lebih lama karena jalan cadas berbatu. 


Tak lama setelah itu, sebuah pantai di tepi kanan seolah memaksa kaki berlari meraih airnya yang jernih tak tergambarkan. Pantai ini tepat bagi mereka yang gemar menyusuri pasir halus dan bersih. Di sisi lain tak jauh dari pantai ini, sebuah bibir pantai lain tersungging menyambut pengunjung, tepat dijadikan gambaran khayalan yang menjadi kenyataan. Dua bukit batu membatasi ujung bibir pantai satu dengan yang lainnya. Airnya yang biru bening seolah tatapan mata yang menyambut hangat, persis sehangat airnya saat kelelahan diserahkan seutuhnya pada keramahan alam mengobati kepanatan ragawi. Tak salah seorang pendeta bernama Theodorus Yoseph Visser SVD membina jalan sejauh 2 kilometer dari Wolowiro ke Pantai Koka sehingga kini akhirnya menunggu waktu untuk diminati petualang merebahkan kekagumannya di atas pasir pantai yang halus bersih. Seorang berkebangsaan Belanda sempat tinggal di Watuneso, Lio Timur di Ende dan menyebarkan semerbak harum nama Pantai Koka di Eropa. Sejak itulah pantai ini menjadi primadona yang ternyata masih tak berubah keasliannya.


TIPS
Tetap bawa minuman dan makanan yang cukup untuk bertahan di kawasan pantai indah ini karena tidak ada satu pun fasiltas yang dibangun atau diadakan oleh pemerintah maupun masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar